Peta Majas Media @masdalu (Bag. 4)

Media sosial. Ia lahir dari teknologi internet. Pokok bahasan mengenainya bervariasi sekaligus sangat luas. Meskipun tidak selalu, media sosial lebih sering menuntut sudut pandang paling kini dalam kajian atasnya di ranah disiplin media. Hal itu dilatarbelakangi oleh keberadaannya sebagai teknologi komunikasi dan informasi yang hadir sebagai kanal aneka-arah. Meskipun tetap diperantari oleh jaringan mesin, media sosial nyatanya mampu mengondisikan semua orang untuk terhubung secara langsung dan dapat mengalami tindak komunikasi dalam waktu yang nyaris bersamaan; real time—layaknya komunikasi purba (yang tidak membutuhkan perantaraan alat). Karenanya, pembahasan tentang media sosial bisa menjadi sangat kompleks dan berlapis-lapis. Yang lebih menarik, pada fenomena media sosial pulalah kita mendapati bagaimana konsep “privat dan publik”, “aku dan massa”, “individu dan kolektif”, “penonton dan menonton”, “kolaborasi dan berbagi”, dan “simulasi dan mediasi”, serta “produsen dan konsumen” mengalami perluasan yang sungguh luar biasa. Bahkan, konsep performans, performatif, dan performativitas pun demikian.

Lev Manovich tidak sekali-dua kali menyatakan di dalam bukunya, Instagram and Contemporary Image (2017), bahwa analisisnya terhadap platform Instagram, mungkin, bisa dibilang hanya berlaku pada ruang lingkup penelitiannya saja—yaitu dari tahun 2012 hingga 2015—dan tidak bisa digeneralisir sebagai pandangan universal tentang budaya foto kontemporer. Sebab, “[m]edia platforms such as Instagram continuously change during their histories.”[1] Tentu saja, apa yang berubah terus-menerus itu tidak hanya terjadi pada Instagram, tetapi juga pada Twitter, Facebook, aplikasi chatting, web blog, dan platform-platform online lainnya. Adanya perubahan terus-menerus dalam sejarah keberadaannya, menandakan bahwa media sosial tidak akan menetap dalam waktu yang lama pada satu bentuk mekanisme penggunaan; akan selalu ada pembaharuan fitur-fitur yang disajikan perusahaan pemiliknya, yang mana hal itu juga beriringan dengan pembaharuan yang terjadi pada modus persepsi masyarakat terhadap platform-platform tersebut. Mengambil contoh Instagram, saya masih ingat betul, betapa takjubnya saya dengan kemunculan IGTV, padahal rasa penasaran saya terhadap fitur Instagram Stories atau fitur multi-video-post belum tuntas sama sekali. Dan hal-hal baru ini, tidak hanya terjadi pada segi fitur-fitur platform tersebut, tetapi juga terjadi dari segi konten-konten yang dibuat oleh para pengguna (users; netizen)—konten-konten tertentu dengan cepat muncul dan menyerang mata kita bertubi-tubi, tapi dengan sekejap pula ditinggalkan karena fokus orang-orang seketika berpindah ke konten-konten baru dengan kecenderungan yang lebih baru.

Sudah jelas, media sosial adalah turunan kesekian dari teknologi digital. Tak bisa pula kita elakkan fakta bahwa teknologi digital merupakan faktor utama penentu budaya masa kini, meminjam pendapat Leeker, Schipper, dan Beyes (2017). Berkaitan dengan konsep performativitas, mereka berkata:

...digital cultures are performative cultures. They condition and are shaped by techno-social processes and agencies, and they afford new possibilities for performative practices and interventions. It follows that the study of performativity in its heterogeneous dimensions cannot afford to ignore the agential forces and effects of digital technologies and their entanglements with human bodies.(2)

Dalam wujudnya yang kini hadir secara online, teknologi digital juga mengubah nilai dari sebuah objek: informasi.[3] Ya! informasi menjadi lebih berharga daripada apa pun. Informasi menjadi berharga, karena teknologi digital—si penghasil atau penyedia informasi itu—‘bertindak’ (perform) atas dirinya sendiri, juga “membuat manusia (dan nonmanusia) ikut bertindak”.[4] Di zaman kita, media sosial merupakan kondisi termutakhir dari budaya digital. Kini, tidak lagi relevan jika kita hanya bersandar pada dikotomi antara manusia dan alat media, karena keduanya telah saling berhimpit dan saling memengaruhi. Bahkan, lebih daripada sekadar memengaruhi sikap dan perilaku, media sosial telah menjadi keseharian kita yang tanpa batas. Maka, jika budaya digital adalah budaya performatif, bisa dikatakan sekarang, bahwa, media sosial adalah era paling performatif di dalam sejarah manusia sejauh ini.[5]

Menyetujui bahwa media sosial, dari segi entitasnya sebagai mesin yang bekerja untuk kebutuhan manusia, pada dasarnya, adalah performatif, berarti kita patut berpendapat bahwa konten-konten yang bergulir di media sosial dengan sendirinya akan hadir sebagai konten yang performatif pula.[6] Oleh karena itu, dalam memetakan gaya bahasa media @masdalu—salah satu akun Instagram milik Dalu Kusma yang secara spesifik diambil sebagai studi kasus atau contoh yang dapat mewakili fenomena media sosial—kita juga mesti melihat konten-konten @masdalu sebagai konten yang performatif.

Performativitas konten-konten media sosial dapat dilihat dengan menyadari bahwa, di balik konten-konten yang tampak di atas layar-layar gawai pintar yang kita genggam, terdapat suatu kerja otomatis dari sistem algoritma yang rumit, bersifat terukur tapi sekaligus arbitrer, yang dengan kerja otomatisnya itu, teknologi online ini mampu membaca pola tingkah laku kita terhadapnya, dan dengan demikian akan membaca selera dan kebiasaan, yang kemudian, sebagai dampaknya, akan menentukan pula keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan para pengguna yang tengah menghadapi layar-layar tersebut.

Berhadapan dengan itu, Dalu Kusma justru dengan sadar menyikapi media sosial sebagai medium seni, bukan semata tempat untuk memajang atau mendistribusikan dokumentasi dari karya seninya. Yang disebut karya seni dalam konteks keberadaan akun Instagram @masdalu, bukanlah teks-image yang diterbitkan (di-post) Dalu Kusma di feed, melainkan akun @masdalu itu sendiri. Kesadaran semacam itu mengindikasikan suatu usaha yang berusaha melampaui “kontrol teknologis yang tak-terkontrol” dari media sosial. Seni ala @masdalu adalah siasat penaklukan media sosial. Dengan kata lain, bagi Dalu Kusma, performativitas media sosial harus digenggam menjadi sebuah permainan bahasa, baik itu bahasa dari segi substansi dan bentuk (teks-image) maupun dari konteks media sosial itu sendiri sebagai bagian dari fenomena media baru (new media). Praktik Dalu Kusma tidak melepaskan begitu saja performativitas media sosial sebagai sebuah kerja yang bergerak sendiri di luar jangkuan eksistensi kreatifnya sebagai seniman. Sebaliknya, Dalu Kusma justru berupaya mengontrol performativitas media sosial itu dengan menciptakan performativitas seni, yaitu performativitas @masdalu. Sederhananya, @masdalu memiliki performativitas yang berlapis: sebagian berasal dari takdirnya sebagai akun media sosial, sebagian yang lain tercipta dari praktik seismografis dan nonseismografis sang seniman.[7]

***

Pada tahun 2011 di Indonesia, Instagram belum sepopuler sekarang. Kala itu, orang-orang masih lebih menggandrungi Twitter. Sementara, Facebook sudah mulai membosankan—atau mulai mengkhawatirkan—yang muda-muda: para orang tua ikut-ikutan bermain Facebook sehingga anak-anak mereka beralih ke Twitter untuk tetap bisa berekspresi secara bebas tanpa dipantau. Setidaknya, itulah situasi yang tergambarkan di lingkungan pertemanan saya di masa perkuliahan dulu.

Sejalan dengan alasan bahwa ia sengaja diciptakan sebagai platform “berruang terbatas” (menyediakan ruang celoteh dengan jumlah kata yang dibatasi), Twitter secara sosial sebenarnya berfungsi untuk melemparkan ujaran-ujaran sepintas lalu. Twitter adalah verbal snapshots, meminjam konsep Jonathan Schroeder[8], atau ruang blog mini yang simpel dan tidak merepotkan, apalagi memberatkan. Baru kemudian, kaum intelektual—juga para “pejuang” moral dan agama, serta aktivis kacangan dan buzzer politik—memanfaatkan platform ini sebagai “toa” untuk berceramah: kultwit. Kecenderungan yang muncul belakangan ini, bagi saya kala itu, memang agak menyebalkan, karena kultwit-kultwit tersebut lagi-lagi mengganggu ketentraman saya saat bermedia sosial. Tapi, yang sebenarnya lebih menyebalkan daripada itu, adalah tingkah narsistik para netizen Twitter yang jumlahnya tidak sedikit: segala hal di-twit.

Menanggapi hal itu (yang ternyata masih terjadi hingga sekarang), di tahun yang sama, seorang teman saya membuat akun Twitter bernama @biasa_ajah. Dengan sengaja memantau linimasa nasional menggunakan kata kunci “banget” di fitur pencari, @biasa_ajah me-retweet secara acak terbitan-terbitan dari akun-akun Twitter yang mencantumkan kata “banget” pada twit-nya, lalu menambahkan ungkapan “ajah” di awal kalimat. Contohnya, dapat dilihat pada screenshot di bawah ini:

Performativitas Twitter (atau media sosial, secara umum, sebagai mesin otomatis) “memakan” mereka yang secara tidak sadar telah menginternalisasi pemaknaan diri sebagai “orang terkenal” karena dibuai panggung termediasi media sosial—para sang aku yang selalu merasa tengah disimak oleh para followers-nya. Dalam kasus penggunaan Twitter, kepuasan dapat diraih hanya dari jumlah likes dan retweet. Netizen lantas menjadi narsis secara berlebihan; dalam kondisi riil yang sebenarnya sedang sendirian, netizen yang narsis ini kerap merasakan sensasi keramaian, dan kemudian merasa penting untuk mengabarkan segala aktivitas dan keluh kesahnya di Twitter (padahal belum tentu penting), layaknya seorang selebriti yang kehidupannya selalu menarik dan diekspos media massa.

Di tengah-tengah itu, akun @biasa_ajah secara sepintas tampak sebagai akun iseng belaka, yang sedang bergurau. Akan tapi, sesungguhnya aksi yang dimainkan @biasa_ajah—terhadap akun-akun yang ia serang—merupakan performatif, dalam arti: ia perform di atas performativitas Twitter. Bisa dibilang, twit-twit @biasa_ajah muncul dua kali lipat lebih bertubi-tubi dibandingkan twit orang-orang, namun tendensinya kemudian dapat dibaca sebagai “mocking buzzer” yang secara sarkastik menertawakan—kalau istilah “mengkritisi” terdengar terlalu serius buat akun ini—keterlenaan para netizen yang disebabkan ilusi ke-selebritas-an yang diciptakan media sosial. Meskipun bukan fake account, @biasa_ajah malah mengadopsi logika tutur dari social bot sebagai suatu performans bahasa dengan merepetisi pola kalimat yang di dalamnya kata “ajah” mensubordinatkan kata “banget”. Dengan pola tersebut, mekanisme komunikasi media sosial ala Twitter didisrupsi menjadi komedi.

Namun sekarang, seperti yang dapat dilihat, akun Twitter @biasa_ajah tampaknya sudah jarang dioperasikan oleh Galer, nama teman saya itu. Saya sempat tahu bahwa Galer juga pindah ke Instagram ketika platform media terbaru ini semakin digandrungi orang-orang. Tapi, Instagram @biasa_ajah tidak beroperasi sejenius aksi Twitter @biasa_ajah. Juga dapat disadari, Galer meninggalkan—atau gagal mengembangkan—pola performatif yang ia miliki di Twitter dan malah mencari bentuk tindakan kreatif yang lain ketika beroperasi di Instagram. Mungkin karena juga tak sukses, Instagram @biasa_ajah pun terlihat sudah tak beroperasi lagi sejak tahun 2015.

Meskipun dengan gaya ungkap yang berbeda, motif yang mengarah pada “mockery of netizen” (‘pengolok-olokan terhadap netizen’), menurut saya, juga ada pada praktik Dalu Kusma dalam @masdalu. Kata-kata, bagi Dalu Kusma, adalah ungkapan visual daripada sekadar verbal. Baik @biasa_ajah maupun @masdalu adalah komedi. Akan tetapi, jika Twitter @biasa_ajah mengintervensi jejak aksi ngetwit para netizen melalui fitur retweet, yang artinya menjadikan konten dari twit seseorang sebagai bagian dari komposisi punchline-nya, akun Instagram @masdalu lebih menekankan intervensi terhadap aspek kognitif netizen, yaitu melalui komposisi konten berupa perpaduan antara (1) teks yang dijadikan image pada post (kita sebut teks-image) dan (2) teks pada kolom caption. Dengan imajinasi strategis yang berbeda ini, tentunya, konstruksi performativitas yang dihadirkan oleh @masdalu pun juga berbeda.

***

Platform-platform media sosial, pada dasarnya, adalah performatif karena mereka merupakan mesin yang telah diatur sedemikian rupa untuk dapat bekerja sebagai robot data, yang membaurkan eksistensi kerja otomatis mesin digital dengan operasi berdasarkan perintah pengguna, menjadi sebuah aksi atau bahasa hybrid (manusia + nonmanusia). Agaknya, inilah yang bisa kita sebut sebagai lapisan utama dari performativitas media sosial, yang jika kita hadapi dengan posisi hanya sebagai pengguna, suatu saat ia akan “memakan” kita. Performativitas ini tidak lagi bekerja layaknya aura[9] yang menggetarkan hati, melainkan seperti virus yang tidak disadari, yang mampu membius. Ia tidak hanya sekadar menghilangkan batas antara yang tidak nyata dan nyata, antara simulasi dan realitas, antara representasi dan presentasi, ataupun antara dunia maya dan dunia asli, tetapi juga justru menjadikan konsep yang pertama sebagai konsep yang kedua: yang tidak nyata ialah nyata, yang simulasi adalah realitas, yang representasi adalah presentasi, dan dunia maya adalah dunia asli itu sendiri. Sebab, performativitas media sosial terjadi berulang-ulang, hampir setiap detik di kehidupan para pengguna, dan dengan sendirinya akan membentuk habitualitas sensorik dan motorik pada diri manusia yang menggunakannya. Kepuasan yang ilusif dari media sosial, bagi sebagian besar orang yang menggandrungi media sosial, adalah kepuasan yang sebenarnya. Memodifikasi kalimat Barbara Kruger: I do online therefore I am.

Berusaha untuk lepas dari bius performativitas media sosial seperti yang disebut di atas (selanjutnya kita sebut “performativitas lapis pertama”), praktik kesenian Dalu Kusma (dan juga praktik kreatif Galer) mencoba menciptakan performativitas lain (yang selanjutnya kita sebut “performativitas lapis kedua”), sebagai performativitas tandingan, atau sebagai cara untuk melepas belenggu ketidaksadaran yang diakibatkan media sosial, atau setidaknya untuk bisa menertawakan (mengolok-olok) keabsurdan yang terjadi pada “performativitas lapis pertama”. Mungkin, di mata Anda, penafsiran yang saya ketengahkan ini terkesan mendukung orientasi “heroisme” khas kritisisme universal ala Modernis. Namun, sederhananya, apa yang ingin saya sampaikan sesungguhnya ialah spekulasi tentang pengembangan kesadaran media (media literacy) ke dalam praktik kesenian, bahwa seni media kontemporer agaknya akan lebih berarti tatkala mampu memicu emansipasi terhadap hegemoni media. Sebagai suatu praktik spekulatif, kegiatan Dalu Kusma dalam membangun konsepsi seni di dalam karyanya, @masdalu, menawarkan kemungkinan-kemungkinan yang layak diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga kita bisa mendayagunakan media sosial—daripada sekadar mengonsumsinya—dengan lebih arif dalam rangka menjadi suatu agensi.

Kesadaran media dalam konteks @masdalu diwujudkan dengan tidak menolak cara kerja Instagram, tetapi mengamininya justru untuk mengkritisi baik Instagram itu sendiri maupun penggunaan Instagram oleh netizen. Cara kerja tersebut—yaitu membuat konten, unggah, sebar, dan mendapat likes, comments, dan followers—adalah pokok-pokok kegiatan yang sengaja di-perform-kan di dalam kerangka pembangunan kesadaran kultural daripada kebiasaan konsumeristik. Membingkai isu-isu receh para netizen menjadi kontennya, @masdalu membongkar ulang pengertian kenyamanan (comfort) dengan menyiratkan ketidaknyaman (discomfort), mengkritisi imajinasi kesusilaan dengan membenturkan keasusilaan kata-kata, menggoda keseriusan dengan menawarkan kerecehan, merombak kebakuan dengan memermak alternatif, dan mempertanyakan esensi yang memusat dengan mencitrakan trivia yang terfragmentasi.

Jika akun Twitter @biasa_ajah menggoda ujaran seseorang dengan menghadirkan perandaian yang jauh menyimpang dan tak terkait dengan makna teks yang ia retweet, apa yang dilakukan oleh Dalu Kusma melalui teks-image @masdalu ialah menggugah etika bahasa sehari-hari dengan menyajikan retorika visual yang dekat dengan netizen.

 

Dengan pintar mengemas persoalan-persoalan yang dekat dengan publik netizen, @masdalu juga memiliki daya pikat bagi perealisasian peristiwa repost dan reshare sehingga memicu reproduksi berdampak terhadap jaringan sosial yang ada. Ujaran-ujaran bercanda @biasa_ajah bukan berarti tak bisa di-retweet kembali oleh orang-orang, tetapi sebagai rupa artistik, @masdalu lebih berarti karena peka komposisi dan lebih menghasilkan “greget”.

***

Jika kita meninjau pandangan Jim Supangkat, sebagaimana yang dikutip Hendro Wiyanto, tentang keinginan seniman untuk “berkomunikasi dalam arti yang sesungguhnya, bukan komunikasi filosofis, humanistis”, dapat dipahami bahwa pendekatan “non-seismograf” pun sengaja dipilih dan termanifestasi dalam kecenderungan untuk memburu objek-objek yang ada di luar dunia imajinasi seniman (yaitu, dunia konkret): benda-benda dipilih dan diseleksi untuk dibingkai dengan cara menyusupkan konsepsi seni ke dalamnya.[10] Dalam perkembangannya yang lebih kontemporer, esensialisme medium (yang menjadikan representasi seni bersifat esensial) tidak lagi dipercayai karena dianggap memiliki distansi dengan peristiwa sehari-hari yang nyata.[11] Koneksi antara seni dan peristiwa pun, akhirnya, semakin terus dikejar, setidak-tidaknya untuk bisa menjadikan apa yang artistik sebagai hal yang dapat dialami—menjadi “peristiwa artistik”; atau, ada kecenderungan untuk menjadikan peristiwa sebagai seni, yakni dalam rangka membebaskan seniman dan juga para penonton,[12] entah itu dari jeratan “dunia dalam yang tertutup” (dunia representasi/ekspresi dari karya seni), atau mungkin dari polemisasi konseptual antara esensi dan eksistensi, terkait yang mana yang dianggap lebih tepat mendahului yang lain: apakah “esensi mendahului eksistensi” atau justru sebaliknya, “eksistensi mendahului esensi”.

Menelaah praktik yang dilakukan Dalu Kusma lewat karyanya, @masdalu, kita agaknya tidak perlu lagi berkutat dengan soal apa yang mendahului apa. Sebab, dengan menetapkan “media sosial sebagai medium seni”, @masdalu merupakan karya yang secara dasariah adalah peristiwa [bermedia]—@masdalu diklaim baik sebagai peristiwa (atau metonimia dari peristiwa media sosial yang sangat luas) sekaligus sebagai peristiwa seni yang beroperasi lokal dan kekinian. Dalam praktik Dalu Kusma, “esensi” tidak lagi menjadi sesuatu yang perlu ditolak—apalagi jika dikaitkan dengan ide “penolakan terhadap esensi[alisme] medium”—sedangkan “eksistensi” tidak serta-merta menjadi satu-satunya hal yang mesti dikejar dan diraih. Dalam posisi ini, yang diterapkan adalah pendekatan campuran antara “seismografis” dan “non-seismografis”. Dari segi substansi teks-image-nya, seismografis sang seniman dengan jelas berperan penting bagi kualitas konstruksi konten pada @masdalu. Akan tetapi, bersamaan dengan itu, lewat pendekatan yang non-seismografis, Dalu Kusma menyikapi akun Instagram @masdalu sebagai objek dunia luar yang telah ia pilih, ambil, lalu posisikan sebagai seni. Dan lebih dari sekadar “aksi komunikatif” ala Jim Supangkat (sebagaimana yang dirujuk Hendro Wiyanto), @masdalu adalah “objek temuan” yang bukan semata dipandang, melainkan sesuatu yang pastinya akan dialami, oleh penonton, lewat mekanisme perlakuan atau pengalaman yang sama persis dengan apa yang dialami oleh Dalu Kusma sendiri (karena, bagaimanapun, Dalu adalah seniman yang menjadi netizen). Dengan kata lain, likes, comment, dan share adalah aspek-aspek peristiwa yang juga menjadi seni dalam dunia @masdalu.

Kita juga perlu mencatat, interaktivitas yang kemudian terbingkai dalam wacana @masdalu bukanlah interaktivitas yang tertutup (dalam arti: tidak sama dengan karya-karya seni interaktif yang dipamerkan di galeri seni—interaktivitas terjadi di “ruang seni”), tetapi merupakan interaktivitas yang sehari-hari sebagaimana adanya: interaktivitas di dunia media sosial. Logika ini lebih cenderung mendekati praktik dari seni [di ruang] publik. Kecenderungan semacam ini juga telah kita temukan pada karya-karya semacam fotografi Agan Harahap atau karya-karya moving-image Fluxcup. Kedua seniman tersebut, dengan sadar menjadikan dunia maya sebagai “medan seni”. Atau, dalam konteks yang lebih global, ialah praktik-praktik di ranah internet art (misalnya Gretchen Andrew yang dikenal dengan sebutan search engine artist). Akan tetapi, Dalu Kusma agaknya hanya memilih lingkup spesifik, yaitu di lingkup lokal “media sosial”, tanpa membutuhkan kemampuan khusus terkait keahlian komputer dan wawasan robotik ataupun bahasa-bahasa algoritmik. Ia hanya perform sebagai netizen untuk mencapai puncak agensinya sebagai generasi milenial.

Sebagai suatu kesimpulan: dengan menyadari adanya performativitas media sosial atau peformativitas Instagram itu sendiri (performativitas lapis pertama), dan mengimbanginya dengan performativitas @masdalu lewat permainan isi dan bentuk terbitan dalam rangka menggugah aspek kognitif para netizen lain yang berinteraksi dengan karyanya (performativitas lapis kedua), Dalu Kusma sebenarnya tengah melakukan suatu performans pula dengan menjadi netizen secara utuh, tetapi netizen yang agensial (performativitas lapis ketiga). Performativitas berlapis inilah yang, saya kira, merupakan hal penting yang perlu kita lihat dari @masdalu. ***

 

Catatan Kaki:

[1] Lev Manovich, Instagram and Contemporary Image, 2017, hlm. 4. (Penekanan kata—cetak tebal—berasal dari penulis). Buku ini dapat diunduh di situs web Lev Manovich.

[2] Martina Leeker, Imanuel Schipper, & Timon Beyes, “Performativity, Performance Studies and Digital Cultures”, dalam M. Leeker, I. Schipper, & T. Beyes (Eds.), Performing the Digital: Performativity and Performance Studies in Digital Cultures, Bielefeld: Transcript Verlag, 2017, hlm. 9.

[3] Pembahasan panjang lebar mengenai hal ini dapat ditinjau dalam buku Wendy Hui Kyong Chun, Updating to Remain the Same: Habitual New Media, Cambridge, Massachusetts & London, England: The MIT Press, 2016.

[4] Martina Leeker, Imanuel Schipper, & Timon Beyes, op. cit., hlm. 11.

[5] Lihat juga pembahasan tentang generasi performatif oleh Otty Widasari, “Seni Performans Indonesia di Generasi Performatif”, 69 Performance Club, 22 Maret 2019, dan Manshur Zikri, “Notabene Generasi Performatif”, situs web manshurzikri.com, 5 Mei 2019.

[6] Terkait dengan hal ini, saya juga telah menulis esai tentang bagaimana suatu karya seni dapat dianggap performatif di esai berjudul “Bagaimana Karya Seni yang Performatif”, dapat diakses di situs web manshurzikri.com, 21 Mei 2019.

[7] Dalam salah satu naskah—yang ditemukan dari dokumentasi miliknya—Sanento Yuliman menyebut istilah “jarum seismograf” untuk mengibaratkan perpanjangan tangan seorang seniman dalam mengonstruk rupa dan menangani medium ketika berproses menciptakan sebuah karya; konsep “jarum seismograf” Sanento erat berkaitan dengan konsep “jiwa ketok” Sudjojono. Lihat Sanento Yuliman, “Perspektif Baru”, dalam  Sanento Yuliman, Dua Seni Rupa: Sepilihan Tulisan, Penyunting: Asikin Hasan, Jakarta: Yayasan Kalam, 2001, hlm. 153. Konsep ini layak kita adopsi—dan karenanya saya memilih istilah “praktik seismografis”—untuk menegaskan kepekaan seorang subjek pengelola akun media sosial (user), sebagai seorang seniman, dalam mengkonstruksi konten dan kerja akun media sosial miliknya.

[8] Lihat Jonathan Schroeder, “Snapshot Aesthetics and the Strategic Imagination”, InVisible Culture, Issue 18, 10 April 2013.

[9] Lihat pemaparan saya tentang perbedaan (dan juga kesalinghubungan) antara “performativitas” dan “aura” dalam konteks ini di Manshur Zikri, “Bagaimana Karya Seni yang Performatif”, op. cit.

[10] Lihat catatan panjang lebar Hendro Wiyanto mengenai hal ini di esai berjudul “Seni dan Peristiwa”, Kalam, No. 27, 2015.

[11] Hendro Wiyanto, ibid.

[12] Hendro Wiyanto, ibid.

No Comments

Sorry, the comment form is closed at this time.