Peta Majas Media @masdalu (Bag. 5)

Pada esai kali ini, saya ingin menyinggung praktik Dalu Kusma lainnya dalam mengelola @masdalu, yang menurut saya tak kalah berarti dibandingkan post-post yang ia unggah di bagian feed. Tampak di permukaan, bahwa, praktik yang saya maksud tersebut, yang sudah tentu performatif (sebagaimana telah saya coba ulas di bagian sebelumnya[1]), dilakukan oleh Dalu dengan sederhana, sesederhana mengikuti tren para netizen yang senang berbagi hal-hal yang bukan hanya berupa dokumentasi pengalaman terkait sebuah peristiwa, tetapi juga merupakan preferensi kultural yang bersifat personal—entah itu dalam hubungannya dengan kegiatan konsumsi, narsistik, ataupun niatan baik untuk mendistribusikan informasi. Yang sedang saya bicarakan ialah kritisisme @masdalu di fitur Instagram Stories.

Untuk mengulas posisi seni dari Instagram Stories @masdalu, pertama-tama saya akan mencoba menguraikan sebuah spekulasi tentang kemungkinan adanya perbedaan persepsi yang tercipta—sebagai dampak dari mekanisme komunikasi—dari tampilan halaman konten Instagram Stories dengan halaman Profil sebuah akun Instagram. Spekulasi ini mengacu kepada pola yang ada pada semua akun Instagram yang terjangkau dalam pengamatan saya selama ini, mulai dari para influencer hingga akun-akun biasa yang saya ikuti. Dengan kata lain, spekulasi ini belum tentu bisa berlaku pada keseluruhan kasus yang ada di dalam jagatraya Instagram, tetapi tetap layak untuk dipikirkan. Selanjutnya, spekulasi terhadap persepsi tersebut akan menjadi dasar kita untuk melakukan spekulasi kedua, yaitu mengenai motif-motif yang mungkin mengiringi tindakan seorang netizen dalam mendistribusikan konten di Instagram Stories. Dua spekulasi ini, nantinya, akan dikaitkan dengan motif @masdalu dan bagaimana Dalu Kusma membangun suatu modus berbahasa dalam rangka mengganggu daya tangkap “penonton” Instagram Storiesnya. Praktik dalam melakukan modus berbahasa itu juga akan saya lengkapi dengan menarik konteks wacana mengenai “oprek-oprek teknologis” yang berkembang di ranah praktik seni media di Indonesia.

Keberadaan Sementara dan Minimal,
untuk Berada Lebih Lama dan Maksimal

Sejumlah ahli, dan para influencer yang juga kemudian dianggap “ahli”, yang menaruh perhatian tinggi terhadap media sosial, berpendapat bahwa Profil sebuah akun merupakan representasi terpenting untuk memahami bagaimana seseorang membuat identitas diri (persona—tanpa huruf “l”) di dunia maya, untuk membangun “brand” tertentu yang dilekatkan pada dirinya sebagai seorang netizen. Pada Instagram, apa yang disebut “profil” ialah tampilan depan sebuah akun yang di dalamnya termuat segala konten yang diunggah oleh pemilik akun. Profil adalah etalase yang sangat menentukan, yang secara tersirat juga menunjukkan kualitas manner seorang netizen dalam mengelola, menata, dan mencitrakan dirinya ke khalayak dunia maya. Bagi mereka yang terobsesi menjadi influencer, misalnya, Profil adalah area vital.

Namun, kita juga kerap menemukan para pengguna atau netizen Instagram aktif yang justru senang menghadirkan Profil-nya dalam keadaan kosong melompong, atau hanya berisi konten dua hingga lima posts saja. (Perhatikan: saya bukan sedang menyebut akun-akun bodong, tetapi akun-akun aktif).[2] Pada beberapa akun, saya perhatikan, kekosongan ini terasa mempunyai maksud, dan bukan dalam arti si pemilik akun tersebut malas mengunggah post baru. Indikasi itu bisa disadari—tentunya sejak kemunculan fitur Arsip—dengan memperhatikan akun-akun yang dengan sengaja menghilangkan beberapa post yang sudah pernah dibagi di halaman Profil, dan setelah berselang beberapa waktu, post tersebut dimunculkan lagi (dengan jumlah like dan comment, serta keterangan tanggal unggahan yang sama). Tindakan itu seakan menyampaikan pesan bahwa si pemilik akun tengah “menata ulang” tampilan Profil. Atau, keinginannya untuk menunjukkan beberapa konten saja, sesuai mood. (Fenomena ini juga telah dibingkai Dalu menjadi salah satu konten text-image @masdalu).

Menurut saya, “perombakan etalase” merupakan aksi representatif, aksi yang juga memuat makna tertentu, begitu juga dengan aksi mempertahankan “profil yang sepi”. Agaknya, “profil sepi” ini tidak berada dalam pola-pola tingkah laku netizen kebanyakan (yang mengincar penambahan jumlah follower lewat tampilan Profil persuasif dan konsisten), tapi lebih merupakan pencitraan strategis untuk membangun wibawa di dalam jaringan pertemanan yang terbatas, semacam konkretisasi virtual dari peribahasa “diam itu emas”. Jika pendapat ini, ternyata, tidak berlaku pada sebagian netizen aktif ber-“profil sepi” lainnya, kita bisa bersandar pada pendapat kedua: Instagram lebih dimanfaatkan sebagai semata-mata wahana untuk menonton, memantau, atau mengintip, daripada sebagai ruang berbagi konten. Di sini, kita pun akan memiliki dugaan bermata dua yang saling berkaitan. Pertama, dugaan tentang penggunaan Instagram sebagai “ruang menonton” belaka; kedua, dugaan tentang antisipasi seorang netizen agar tidak menjadi bahan tontonan/pantauan netizen lain sehingga pola tampilan Profil yang dipilihnya ialah “profil sepi”, dan karena itu, ia pun seolah-olah hadir ke dunia maya dalam rupa atau tindak-tanduk yang sama dengan sosok para akun “observer”.

Tafsiran saya yang, mungkin di mata Anda, terasa “mengada-ada” ini, saya ajukan sebagai uraian yang cukup relevan untuk berspekulasi mengenai psikologi netizen Instagram—yang sudah pasti berbeda dengan netizen Twitter dan Facebook atau platform online lainnya. Tafisran ini merupakan refleksi berdasarkan pengalaman saya menghadapi sejumlah teman dan kerabat yang memiliki kecenderungan demikian. Misalnya, beberapa teman mengaku kepada saya bahwa mereka dengan sengaja menghapus atau men-deaktivasi akunnya untuk sementara waktu, dengan alasan: ingin “diet media sosial”. Persoalan “diet media sosial” ini, akhirnya, jadi problematis karena pada kenyataannya, “diet” yang dimaksud justru dilakukan dengan orientasi yang bertolak belakang dengan makna “diet” yang semestinya; “diet” malah menjadi penegas hasrat eksistensial. Dengan kata lain: menarik perhatian dengan menghilangkan atau menarik diri selama beberapa waktu dari dunia maya. Menurut saya, dalam derajat yang lebih rendah (atau justru lebih tinggi…?), tampilan “profil sepi” juga merepresentasikan maksud yang sama halnya, atau setidaknya akan memicu efek yang kurang lebih sama.

Dengan menggarisbawahi dugaan yang disebut di atas, kita bisa mengembangkan pemikiran mengenai aspek lain dari “estetika snapshot[3], terkait dengan konsepsi tentang pengadaptasian logika “photo snapshot[4] ke dalam metode penyajian (pameran) konten di media sosial, bahwa “tindakan sekejap” bukan hanya berlaku dalam proses produksi konten, tetapi juga pada tahap penyajiannya—“pameran berdurasi sangat singkat”. Konsep inilah yang agaknya mendasari cara kerja platform Snapchat (rilis tahun 2011, lalu ditiru oleh Instagram untuk fitur Instagram Stories pada tahun 2016): selain mendorong pengguna untuk membuat konten visual atau teks dengan metode snapshot, Snapchat juga memfasilitasi “pameran pesan yang hanya bisa diakses dalam waktu 24 jam”. Gaya platform ini tentunya menghasilkan suatu haluan baru pada praktik media berbagi pesan, sebagai kekhasan baru di media sosial, karena yang kemudian bernilai adalah momen, dengan kata lain: ‘kesesaatan’, ‘kesejenakan’, atau ‘momentary’ (tapi dalam arti yang tidak sepenuhnya sepadan dengan ‘evanescent’) dari aksi membaca dan melihat. Fitur tersebut bukan lagi hanya soal “momen yang terekam” (yang diolah menjadi pesan), tetapi juga “momen di saat menonton/membaca” pesan itu sendiri. Fenomena ini, menurut saya, memancing penafsiran baru kita terhadap konsep “keterbacaan” (readability), “ketertontonan” (spectacleable-­ity), ataupun “ketereksibisian” (exhibition-able-ity).

Kaitannya dengan spekulasi yang saya sampaikan tadi, kesesaatan konten menjadi manifestasi dari bagaimana konsep “ketidakterpantauan” bisa diterapkan sebagai sebuah pendekatan atau metode untuk menegaskan eksistensi. Secara psikologis, pendekatan ini bermain-main di ranah sifat dasar manusia—“rasa ingin tahu” atau “rasa penasaran”. Kepenasaranan itu dikelola dalam rangka menarik atensi. Pesan diolah ke dalam bentuk yang minimal (baik dari segi rupa maupun durasi) dan sesederhana mungkin (baik dari segi pencerminan tingkah laku maupun tindak komunikatif lainnya). “Minimalisasi” pesan adalah pesan itu sendiri, sehubungan dengan usaha pembangunan identitas persona si pemilik akun. Dalam konteks tersebut, upaya untuk “berada secara sebentar” dan “berada secara minimal” merupakan strategi utama yang dilakukan untuk dapat berada lebih lama dan lebih maksimal. Snapchat, atau fitur Instagram Stories, memfasilitasi ‘kesesaatan’, ‘kesejenakan’, atau ‘momentary’, yang dibutuhkan sebagai “cara berada yang baru” atau “cara tampil yang baru” di media sosial. Pada akhirnya, etalase atau “ruang pamer konten” yang menekankan “kesementaraan” tersebut berdampak pada sifat tampilan (atau pen-display-an) konten yang lebih dinamis—yang mana hal ini, menurut saya, perlu kita rayakan sebagai model komunikasi yang lumayan menyegarkan.

Motif Snapshot

Penjelasan Schroeder mengenai estetika snapshot menunjukkan bahwa visual-visual yang dibuat lewat cara snapshot sesungguhnya mengandung “gaya yang mempunyai maksud” (intentional style), apalagi ketika fenomena ini menjadi khas di media sosial. Snapshot, yang mengedepankan tampilan realistis dan natural, dihadirkan [seolah-olah] tanpa gaya. Namun, bagi Schroeder, justru “ketiadaan gaya/langgam” (the absence of style) itu sendirilah yang merupakan gaya/langgam. Sebagai sebuah strategi komunikasi, ini sudah umum diterapkan oleh para pengiklan.

Contohnya, iklan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang berupaya “meng-ikon-kan” ujaran “Udah…? Udah…?”—kesalahan di depan umum (yang terjadi di luar skenario) sengaja ditampilkan sebagai strategi untuk menjerat perhatian penonton. Ya, sayangnya, iklan PSI justru terlihat sangat konyol dan menggelikan. Akan tetapi, iklan tersebut adalah salah satu yang mewakili kecenderungan dari fenomena ini. Penyertaan bloopers ke dalam konten telah menjadi strategi umum yang diterapkan oleh banyak pengelola konten kontemporer. Lihatlah konten-konten para YouTuber!

Di konten-konten mereka, kita akan menyadari bagaimana sesuatu yang “tidak siap” adalah bagian dari “yang [sebenarnya] sudah dipersiapkan”, atau sengaja diambil untuk memperindah narasi. Saya kira, bloopers pada dasarnya mengikuti logika snapshot itu: “…the absence of style is itself a style”[5]; unreadiness is itself a readiness; unplanned is itself a plan.

Jika kita mengikuti logika semacam itu untuk menafsir pola-pola komunikasi di fitur-fitur Stories (Instagram, WhatsApp, Facebook, Line, Snapchat, dll.), kita juga bisa memperbanyak ragam motif dari snapshot, antara lain: “yang sesaat” adalah “[untuk] tidak sesaat”, “yang tidak serius” adalah “serius itu sendiri”, “yang tidak terencana” adalah “rencana utama”, “yang sampingan” adalah “yang utama”. Melalui cara pikir semacam ini, kita bisa mempresumsikan lebih jauh motif-motif seorang netizen; mengapa ada banyak netizen yang lebih sering memilih Instagram Stories—yang memfasilitasi langgam snapshot dan kesesaatan itu—dibandingkan dengan fitur Post utama. Terlepas dari fenomena akun-akun Instagram yang memang sengaja menyajikan trivia-trivia (seperti akun-akun semacam @bikinilfil) dan menggunakan fitur Post sebagai ruang penyajian utama mereka, kita bisa sama-sama bersepakat bahwa Instagram Stories umumnya lebih sering dipilih sebagai kanal untuk berbagi trivia-trivia personal dari masing-masing pemilik akun Instagram, yaitu konten-konten yang dirasa kurang pas untuk diletakkan di tampilan Profil, atau announcement tertentu yang, jika diletakkan di halaman Profil, justru akan merusak tampilan keseluruhan dari grid yang ada. Dengan kata lain, Instagram Stories mewadahi hasrat kita untuk bisa berbagi shitpost dan konten-konten impulsif, atau kebutuhan untuk mendistribusikan pesan-pesan advertorial, atau publikasi lainnya, yang bisa ditampilkan dalam rentang waktu tertentu dan akan terhapus (tak bisa diakses) setelah 24 jam kemudian. Melalui cara ini, wibawa Profil bisa tetap terjaga meskipun kita sering “nyampah”. Lagipula, fitur Instagram Stories dilengkapi dengan beragam animasi dan augmentasi yang akan mempercantik “sampah” yang hendak kita bagi.

Yang juga menarik untuk diperhatikan, kebutuhan untuk berbagi shitpost atau trivia-trivia itu sebetulnya merupakan perpanjangan dari hasrat untuk bisa tetap aktual (atau mengaktualisasikan diri), yang artinya, juga berporos pada kebutuhan untuk tetap bisa exist. Nah, di sini, esensi (atau nilai pesan) bukan lagi hal yang utama, karena eksistensi (basis pengalaman dari naratif yang dibagikan) telah menjadi hal yang lebih dikedepankan. Barangkali, banyak dari kita yang pernah berpikir seperti ini: “Orang tak perlu tahu banyak tentang saya!” (tapi, sadar tidak sadar, di dalam hati, kita sebenarnya juga berharap: “Mereka semua harus tahu saya ada di mana, apa yang saya lakukan, atau betapa update-nya saya dengan berbagai hal!”). Maksud-maksud semacam ini adalah “sampah”, dan sampah tidak pantas berada di depan. Namun, “sampah-sampah” itu sayang dibuang, karena banyak di antaranya yang justru berkesan, lucu, penting-tidak-penting, dan… “Tidak, tidak, tidak… saya tidak akan mau menaruhnya di profil Instagram saya…!” begitulah kiranya kita berujar dalam keadaan perang batin. Maka, Instagram Stories adalah jawabannya.

“Dunia Instagram Stories” pun memiliki ilusinya sendiri. Data mengenai jumlah orang yang melihat unggahan kita di Instagram Stories kerap kita jadikan acuan sebagai tolok ukur pencapaian popularitas kita—meskipun kita sudah tahu bahwa itu hanyalah data-data berdasarkan algoritma mesin cyber, dan juga mafhum bahwa tak semua orang benar-benar memperhatikan apa yang kita bagi di Instagram Stories. Skip, skip, skip! Tapi, tindakan follower yang hanya “melewati” itu, tetap tercatat oleh mesin media sosial yang kita operasikan, yang nantinya akan menguraikan pola tingkah laku kita dan para follower kita ketika menggunakan media sosial, lalu secara otomatis mesin itu akan mengajukan sejumlah pilihan atau feedback yang mau tak mau mesti kita tanggapi. Kemunculan iklan (atau konten bersponsor) di antara daftar konten Instagram Stories yang terpampang di bagian teratas feed Instagram, pada dasarnya, bisa muncul karena mekanisme semacam itu. Demikianlah, hasrat eksistensial kita di media sosial dan kerja otomatis mesin media sosial tersebut, memang, saling memengaruhi pola dari proses pembangunan persona masing-masing netizen.

Lebih jauh, dalam situasi pola komunikasi Instagram Stories ini, sebagai contoh, kita pun bisa menambah upaya untuk menetapkan definisi dari persona yang kita inginkan: kita bisa berbagi video atau foto tentang ruang tongkrongan favorit, foto makanan yang berselera, buku yang dibaca, tingkah laku gokil diri sendiri atau orang-orang terdekat, kelucuan binatang peliharaan, keseruan dari peristiwa yang sedang kita saksikan, hingga screenshot atau screen-video dari judul lagu di Spotify. Itu semua merupakan strategi-strategi yang akan memengaruhi persepsi orang lain dalam menilai kualitas persona kita. Namun, konten-konten itu agaknya mulai dianggap sampingan dan justru mengganggu kewibawaan tampilan halaman profil. Akan tetapi, jika itu semua ditumpahkan ke Instagram Stories: it’s fun! Jika ada orang yang terganggu dengan “kecerewetan” kita, mereka cukup melakukan swipe untuk melompat ke akun lain atau cukup melakukan “Skip, skip, skip!”. (Dan jikalau mereka masih protes, maka kita: “Hellooooow…?!”) Artinya, Instagram Storie telah membuat semuanya baik-baik saja.

Motif @masdalu

Menanggapi fenomena tersebut, Dalu Kusma bermain-main di area yang menjadi kontradiksi antara “kesementaraan” dan “ketidaksementaraan”, antara “yang sesaat” dan “yang terus ada”, antara “yang tidak terencana” dan “yang direncanakan”, antara “yang sampingan” dan “yang utama”, antara “tampilan yang tampak realistis” dan “tampilan yang dipersiapkan”, antara “visual yang tampak tanpa gaya” dan “visual yang dibuat dengan penggayaan kreatif”, juga antara “apa yang akan di-skip” dan “apa yang kemudian tidak di-skip”. Menerapkan metode yang terus dikembangkan Dalu sejak ia pertama kali mengelola @masdalu, yaitu bermain kata-kata, Instagram Stories @masdalu sedang mengolok-olok kita. Dari sekian banyak pilihan konten “sampah”, ia memilih fenomena “berbagi screenshot atau screen-video Spotify” sebagai bahan kritiknya. Kumpulannya dapat kita lihat pada sorotan Instagram Stories @masdalu yang berjudul “Sing a Song”.

Sederhana saja: Instagram Stories @masdalu yang bertajuk “Sing a Song” ini berisi daftar tampilan halaman Spotify dari lagu-lagu, yang mana masing-masing judul lagu telah diubah menjadi kata atau kalimat lain, tapi secara bunyi masih berkaitan dengan judul asli. Di satu sisi, distorsi yang dilakukan Dalu masih mengikat kita pada konteks judul asli atau isi lagu, sedangkan pada sisi yang lain, ia juga menarik kita ke konteks baru yang bersifat humor. Namun demikian, apa yang saya coba tangkap dan akan saya uraikan di bawah, mengenai praktik tersebut, justru tidak sesederhana apa yang sudah saya paparkan di paragraf ini.

Pertama, konteks kritisisme “Sing a Song” @masdalu terhadap pola keseharian netizen penggandrung Instagram Stories, terkait usaha pendefinisian diri lewat pencitraan berbasis preferensi kultural, misalnya musik. Meskipun selera orang berbeda-beda satu sama lain, kita bisa menyatakan bahwa pilihan lagu—apa pun jenisnya—adalah vokabulari yang sering kali diharapkan dapat merepresentasikan kualitas diri (atau kualitas persona). Karenanya, playlist lagu menjadi penting sebagai salah satu “wajah terdepan” seseorang. Tidak jarang, kita menemukan ketertarikan tertentu pada diri orang lain melalui playlist lagu yang ia punya—atau kita meyakini bahwa orang lain akan menilai diri kita (sesuai dengan apa yang kita harapkan) berdasarkan playlist lagu yang kita punya. (Kasus ini, tentu saja, berlaku untuk mereka yang memang senang memamerkan playlist. Pada beberapa kasus, ada orang yang justru menganggap playlist lagu bukanlah hal penting meskipun nyatanya ia mempunyai kualitas preferensi lagu yang tidak sembarangan).

Menurut saya, komedi yang terkandung pada “Sing a Song” @masdalu justru merupakan kritik yang menyasar netizen daripada menyasar si pemilik lagu. Pada Instagram Stories, orang-orang tidak berbagi playlist, tapi hanya satu lagu pada setiap unggahan; mengesankan tindakan sepintas, tanpa persiapan, yang sambil lalu, “snap-message” (atau mungkin istilah yang lebih tepat ialah “snap-song”…?). Mewakilkan nuansa keseharian—“betapa sehari-harinya lagu ini bagi saya”—kesekejapan menjadi bumbu jitu untuk exist secara memukau. Kecenderungan semacam itulah yang, saya pikir, dikritik di dalam “Sing a Song” @masdalu.

Kedua, spekulasi Dalu terhadap reaksi follower yang akan melihat daftar “Sing a Song” @masdalu. Saya menduga, agaknya Dalu tengah menggoda baik mereka yang senang memajang lagu maupun mereka yang tidak senang berlama-lama menghabiskan lima belas detik menyimak konten Instagram Stories orang lain. Maksud saya, Dalu sedang menggoda narsisme netizen sekaligus pengabaian netizen (yang tercermin lewat tindakan “Skip, skip, skip!”). Dengan cara apa? Dengan menjadikan distorsi tekstual sebagai bahasa, yaitu memanfaatkan logika typo, atau penambahan/pengubahan kata, yang diterapkan pada penulisan judul lagu yang ia pilih. Bagi mereka yang bersedia menyimak, distorsi pada judul lagu (beberapa juga diterapkan Dalu pada image sampul album lagu tersebut) merupakan sesuatu yang pantas untuk tidak dilewatkan. Bagi mereka yang terbiasa Skip, skip skip!, distorsi judul lagu itu tidak akan tersadari sehingga visual yang tertangkap tak ubahnya dengan visual-visual dari screenshot halaman Spotify umumnya yang terunggah ke Instagram Stories. Dengan kata lain, orang yang melakukan Skip, skip, skip! tersebut, sadar tidak sadar, justru tidak beruntung karena telah melewatkan momen komedi @masdalu.

Tapi, apa artinya itu semua? Bagi saya, di antara perbedaan reaksi orang-orang, antara mereka yang menyimak/menyadari dan mereka yang boam (‘bodo amat’) terhadap kejahilan @masdalu (yang menyajikan judul-judul lagu yang diplesetkan), akan tercipta suatu tegangan, yang mana pada ranah tegangan semacam itulah sesungguhnya seni bekerja, bermain-main, untuk menawarkan suatu kemungkinan bahasa yang bisa ditafsirkan sebagai usaha kritis dalam menanggapi fenomena sehari-hari.

Dengan kata lain, “Sing a Song” @masdalu mencoba mendekonstruksi konsepsi “keterbacaan”, “ketertontonan”, dan “ketereksibisian” yang sudah sempat saya sebut pada subjudul pertama di esai ini. “Sing a Song” @masdalu adalah sebuah tindakan kreatif yang melandaskan “momentary” sebagai gaya bahasa.

Ketiga, kaitan praktik Dalu Kusma dengan perbincangan paling membosankan di ranah seni media: oprek-oprek teknologi. Sebagaimana yang akan saya paparkan di subjudul berikutnya.

Oprek-oprek Aplikasi

Lev Manovich menyebutkan bahwa, banyaknya video-video tutorial “how to” di internet, yang menjelaskan tata cara membuat foto yang bagus atau cara mengatur feed Instagram, umumnya oleh para influencer di media sosial, merupakan fakta yang mencirikan perkembangan terkini dari budaya foto kontemporer, terutama sejak kemunculan Instagram (yang menggeser posisi Flickr). Instagramisme, menurut Manovich, “bukanlah tentang perbedaan biner dari arus utama, melainkan tentang seleksi dan kombinasi dari elemen-elemen partikular, yang diambil dari bidang-bidang disiplin kontemporer dan historis, termasuk tawaran-tawaran dari ranah komersial.”[6] Dengan kata lain, para pengguna Instagram tidak berhasrat untuk beraktivisme secara baru layaknya para avant-gardis. Mereka justru lebih setuju—disadari atau tidak—untuk mengadopsi, mengadaptasi, atau mengambil lalu mengombinasikan elemen-elemen yang sudah ada untuk dapat hadir secara segar di depan khalayak.

Kecenderungan ini terjadi bukan hanya pada pengguna Instagram, tetapi juga dilakukan oleh para pelaku media sosial milenial secara umum di berbagai platform. Oleh karena itu, wajar kemudian jika kita berhadapan dengan istilah perfotografian ala media sosial yang digaung-gaungkan oleh para netizen yang mendaku dirinya sebagai “minimalis”, atau re-komposisi beberapa konten menjadi satu konten baru (seperti yang terjadi pada karya-karya mash up atau sing off yang tenar di YouTube), tanpa mereduksi karakteristik dari konten asli. Secara paradoks, metode ini justru diyakini sebagai upaya untuk menjadi “autentik” (artinya, pengertian “autentik” di ranah kehidupan pelaku platform-platform kontemporer pun juga telah bergeser). Deformasi dilakukan bukan dalam rangka menjadi antitesa bagi estetika pendahulu, tapi sebagai siasat eksistensial yang melaluinya ungkapan dan ekspresi personal tetap bisa ditambatkan. Dan beriringan dengan kecenderungan seperti itu, usaha-usaha menyiasati teknologi pun dilakukan karena adanya keterbatasan, entah itu dari segi akses ataupun dari segi kemampuan khusus.

Di ranah seni sendiri, konsep “oprek-oprek teknologis” kerap diperbincangkan di dalam wacana seni media Indonesia. Tingkah cerdik warga yang mengubah fungsi kuali menjadi antena TV, paku bengkok sebagai pembuka tutup botol, atau rice cooker untuk memasak mie, adalah contoh-contoh umum yang sering digunakan para pembicara, kritikus, ataupun seniman, untuk menjelaskan fenomena penting yang turut membangun estetika seni media khas negeri kita. Kata kuncinya: siasat warga, atau inisiatif warga dalam menyiasati teknologi yang apa adanya. Siasat-siasat warga awam ini, nyatanya, menjadi bahan refleksi penting para seniman, dan bahkan diadopsi sebagai metode untuk menemukan gagasan-gagasan baru bagi praktik seni media di Indonesia. Dari situlah kemudian berkembang praktik-praktik seni eksperimental seperti yang dilakukan oleh Lifepatch, WAFT Lab, Jatiwangi Art Factory, Oom Leo, Benny Wicaksono, Julian “Togar” Abraham, Gelar Soemantri, Mahardika Yudha, atau Lintang Raditya (beberapa contoh yang penting kita sebut). Eksperimentasi mereka mencakup baik ranah analog maupun digital, area medium tradisional hingga medium super-teknologis.

Ketika tekonolgi semacam Android muncul ke permukaan, “oprek-oprek teknologis” menjadi semakin wajar di dalam kehidupan bermedia sosial. Bukan hanya tentang banyaknya aplikasi Third Party yang mudah akses, tetapi juga tentang bagaimana para pengguna media sosial mengulik beragam aplikasi yang ada demi menghasilkan konten visual yang diinginkan. Video-video tutorial “how to” merupakan bukti dari fenomena ini.

Dalu Kusma, sebagai seniman, mengikuti senior-seniornya di ranah seni media (atau seni kontemporer), pun dengan berjiwa besar mengadaptasi kebiasaan “oprek-oprek aplikasi” yang sudah umum dilakukan netizen kebanyakan, untuk mengkonstruksi karya seni, terutama untuk menyunting tampilan screen-video (serta teks berupa judul lagu) untuk diunggah ke Instagram Stories-nya. Sementara para netizen memiliki motif personal, Dalu Kusma didorong oleh kesadaran kultural. Sebab, ia tidak hanya membingkai fenomena “oprek-oprek aplikasi” tersebut ke dalam praktiknya, tetapi juga membingkai motif para netizen yang mengoprek-oprek aplikasi—demi hasrat untuk membentuk identitas persona mereka—itu sendiri.

***

Mengakhiri esai kali ini, saya teringat cerita Dalu Kusma kira-kira seminggu yang lalu, tentang percakapannya dengan seorang follower via DM Instagram. Si follower menanyakan aplikasi apa yang digunakan oleh Dalu untuk menyunting tampilan halaman Spotify yang ia unggah ke Instagram Stories. Bagi Dalu, percakapan itu menarik karena terjadi suatu kegiatan “saling berbagi pengalaman dan pengetahuan” antara dirinya dan para pengguna media sosial yang lain. (Cerita Dalu ini juga mengingatkan saya pada kajian-kajian mengenai praktik seni media yang berkembang di awal dekade 2000-an, yaitu tentang strategi para pelaku kreatif dalam mendistribusikan pengetahuan kultural secara peer-to-peer—betapa bentuk komunikasi itu telah begitu berkembang sedemikian rupa, sekarang ini).

“Gila! Itu orang ngulik-nya lebih canggih dari gue, masa…?!” seru Dalu, kepada saya, ketika menjelaskan bahwa si follower yang bertanya itu, ternyata, justru berhasil melakukan siasat yang lebih canggih dari apa yang dia lakukan di “Sing a Song”. Tapi Dalu tidak merasa tersaingi, ia malah mengapresiasi kenyataan itu sebagai suatu fenomena yang patut dipikirkan terus-menerus. Sebab, dari situlah inspirasi karyanya bersumber.

Saya dan Dalu pun sepakat, bahwa, di samping kebiasaan-kebiasaan kita semua (para netizen) yang tidak jarang jadi lumayan menyebalkan karena berkontribusi menciptakan “banjir informasi”, netizen tetap mempunyai potensinya yang khas untuk berkontribusi pula menghasilkan lompatan-lompatan menyegarkan di ranah kebudayaan visual.

Dan saya pikir, tema “oprek-oprek” yang membosankan itu, belum akan berakhir hingga belasan tahun ke depan. ***

 

Catatan Kaki:

[1] Lihat Manshur Zikri, “Peta Majas Media @masdalu (Bag. 4)”, di situs web ini.

[2] Saya menyematkan kata “aktif” pada istilah “pengguna Instagram aktif”, “akun aktif”, atau “netizen aktif” untuk membatasi kasus ini dengan hanya mencakup subjek-subjek yang terbilang aktif ber-Instagram, yaitu mereka yang memiliki pola konsisten dalam mengakses platform tersebut (misalnya, membuka Instagramnya setiap hari pada jam-jam tertentu meskipun tidak mengunggah konten apa pun), dan bukan mereka yang jarang ber-media sosial (atau mereka yang mengakses platform ini seingatnya saja).

[3] Lihat Jonathan Schroeder, “Snapshot Aesthetics and the Strategic Imagination”, InVisible Culture, Issue 18, 10 April 2013.

[4] Secara sederhana, snapshot bisa diartikan “foto informal hasil dari ‘bidikan yang lekas’ tanpa terbebani persiapan tertentu.”

[5] Jonathan Schroeder, op cit.

[6] Lev Manovich, Instagram and Contemporary Image, 2017, hlm. 137.

No Comments

Sorry, the comment form is closed at this time.